Masjid Lautze merupakan salah satu bangunan bersejarah yang berada di Jalan Lautze, Karanganyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Bangunan empat tingkat berarsitektur khas Tionghoa ini tak terlihat seperti masjid.

Dilihat dari warna dindingnya yaitu merah dan kuning, ditambah lagi aksesoris lampion yang menggantung, dan tidak ada kubah seperti masjid pada umumnya membuat bangunan ini lebih terlihat seperti kelenteng. Di dalamnya juga terdapat kaligrafi atau potongan ayat dengan 3 bahasa yaitu Indonesia, Arab, dan Mandarin.

1. Sejarah Masjid Lautze berawal dari ruko sewaan sebagai wadah informasi warga Tionghoa mengenal Islam

gambar istimewah

Berdirinya Yayasan Karim Oei dalam rangka ingin menyampaikan informasi Islam kepada warga Tionghoa ataupun orang-orang yang ingin mengetahui Islam. Humas Masjid Lautze Yusman Iriansyah mengatakan, awalnya masjid ini hanya 1 ruko sewaan yang kemudian pemilik ruko menawarkan yayasan untuk membeli ruko tersebut.

Kala itu pengurus belum mempunyai dana sehingga mencari donatur dan BJ Habibie yang membeli bangunan ini dan diberikan kepada yayasan.

“Berdirinya yayasan ini dalam rangka menyampaikan informasi Islam kepada orang yang ingin tahu Islam, bahkan mereka sudah punya niat ingin masuk Islam. Maka kita coba hadirkan ditengah-tengah mereka, tahun 1991. Waktu itu statusnya sewa, ruko biasa 1. Alhamdulillah pemilik rukonya menawarkan untuk dibeli nah ceritanya waktu itu pengurus belum punya dana, BJ Habibie lah yang membeli gedung ini dan diwakafkan ke yayasan. Tahun 1994 Pak Habibie  meresmikan sebagai masjid,” kata Yusman saat ditemui di Masjid Lautze, Jumat (29/4/2022).

2. Warna, corak, dan ornamen bergaya Tionghoa

gambar istimewah

Yusman mengungkap, asal nama Masjid Lautze karena sesuai dengan keberadaannya di Jalan Lautze. Selain itu, Lautze dalam bahasa Mandarin artinya guru sedangkan dalam bahasa Arab yaitu ustaz.

Masjid ini memiliki 4 lantai dengan fungsi berbeda. Lantai 1 untuk tempat ibadah perempuan, sedangkan lantai 2 untuk laki-laki. Kemudian lantai 3 merupakan kantor pengurus masjid, dan lantai 4 khusus aula pertemuan.

Alasan masjid ini dibangun dengan ornamen, warna, dan corak yang berbeda dari masjid biasanya untuk menarik perhatian warga Tionghoa yang ingin mengetahui seperti apa Islam dan menciptakan kenyamanan bagi warga Tionghoa.

“Tujuan kita kan untuk merangkul saudara kita dari kalangan Tionghoa yang ingin tahu Islam, ya untuk mempermudah mereka yang punya niat belajar dan ingin masuk islam, makanya kita mencoba tampilan kita yang familiar dengan keseharian mereka. Umumnya masjid kan pakai bahasa Arab atau bahasa Indonesia, ini kita pake bahasa Mandarin. Onamen kita juga diliat kaya bangunan di Tiongkok sana, supaya mereka datang ke sini berasa gak datang ke masjid, mereka familiar dengan warna warni yang mereka sering datengin,” jelas Yusman.

3. Ribuan etnis Tionghoa jadi mualaf di Masjid Lautze

gambar istimewah

Sejak berdirinya masjid ini, tercatat 2.000 lebih warga etnis Tionghoa menjadi mualaf di Masjid Lautze. Tidak hanya warga Tionghoa saja, tetapi warga lainnya juga memeluk agama Islam di masjid ini.

“Ya alhamdulillah sejak kita berdiri itu tercatat hampir 2.000-an yang bersyahadat, kita berikan piagam. Mulai dari 1997 kita baru melayani keislaman disini. Karena banyaknya permintaan ingin bersyahadat di Masjid Lautze, tahun 1997 kita buka layanan untuk membimbing syahadat. Sebagian besar mungkin di atas 90 persen itu dari lingkungan Tionghoa. Memang ada sih dari orang asingnya ada Amerika, Jerman atau Korea, jepang, tapi itu kecil. Kebanyakan memang dari orang Tionghoa,” ungkap Yusman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here
Captcha verification failed!
CAPTCHA user score failed. Please contact us!