Home News Efek Usai Kenaikan BBM Subsidi dan Nonsubsidi, Tarif Ojol Resmi Naik

Efek Usai Kenaikan BBM Subsidi dan Nonsubsidi, Tarif Ojol Resmi Naik

0
Efek Usai Kenaikan BBM Subsidi dan Nonsubsidi, Tarif Ojol Resmi Naik

Pemerintah dan pengusaha sepakat menaikkan batas bawah tarif ojek online (ojol) dan angkutan darat, seperti bus dan angkot, usai kenaikan harga BBM subsidi dan nonsubsidi pekan lalu. Kenaikan tarif ojol berkisar 8 persen. Harga minimal untuk pemesanan menjadi Rp8.000 sampai Rp11.200 bergantung zonasi. Tarif baru ini harus berlaku maksimal 10 September 2022 nanti.

Sementara untuk bus AKAP, kenaikan tarifnya sekitar 33 persen, yakni dari Rp119 per kilometer per penumpang menjadi Rp159 per km per penumpang.  Ini berarti, masyarakat harus siap-siap membayar ongkos transportasi lebih mahal dari biasanya. Tentu, bukan kabar baik terutama bagi kelompok masyarakat kelas menengah. Kenapa demikian?

Ekonom Celios Bhima Yudhistira menyebut ada 115 juta masyarakat yang masuk kelompok menengah

Sebab, Ekonom Celios Bhima Yudhistira menyebut ada 115 juta masyarakat yang masuk kelompok menengah dan daya beli mereka cukup rentan tertekan. Keputusan pemerintah dan dunia usaha menaikkan ongkos transportasi sudah pasti akan menekan daya beli masyarakat, utamanya kelompok menengah ke atas. Kenaikan ongkos transportasi bakal membuat mereka mengesampingkan belanja lain-lainnya.

“Karena transportasi ini kebutuhan penting, maka masyarakat kelas menengah terutama akan memprioritaskannya. Konsekuensinya mengurangi kebutuhan lain, seperti menunda beli baju, pengeluaran makanan dihemat, dan lainnya,” ujarnya Kamis (8/9).

Jangan heran, Bhima menilai keputusan menaikkan harga-harga tersebut akan menentukan nasib masyarakat kelompok menengah. Mereka rentan jatuh ke garis kemiskinan. Bahkan, hanya dengan sedikit guncangan saja.

“Karenanya, pemerintah harus hati-hati mendesain kenaikan tarif. Cek dulu peningkatan konsumsi kelas menengahnya berapa? Kemudian, tingkat inflasinya bagaimana, lalu tantangannya ke depan yang bisa menghambat daya beli,” imbuh dia.

Lonjakan inflasi diperkirakan mencapai 7,5 persen sampai akhir tahun

Hitung-hitungan sementara, dengan kenaikan BBM, lonjakan inflasi diperkirakan mencapai 7,5 persen sampai akhir tahun. Nah, dengan kenaikan tarif ojol, tentu tekanan terhadap inflasi kian bertambah. “Belum spesifik menghitung dampaknya karena kebijakan ojol masih baru,” jelasnya.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede sepakat kenaikan harga BBM dan tarif ojol berdampak paling besar terhadap masyarakat kelas menengah.

“Kelompok penduduk 40 persen ini akan sangat terganggu daya belinya akibat kebijakan tersebut, karena mereka tidak menerima bantalan apapun dari pemerintah,” katanya mengingatkan.

Beda halnya dengan kelompok masyarakat kelas bawah atau miskin yang sudah dibekali dengan bantuan sosial (bansos) atau BLT untuk meminimalisir dampak kenaikan harga BBM. Daya beli masyarakat kelas menengah, sambung Josua, sudah pasti akan terpengaruh. Ujung-ujungnya, mempengaruhi konsumsi nasional secara keseluruhan dan berdampak pada angka pertumbuhan ekonomi.

Kok bisa? Karena konsumsi kelas menengah memberikan andil 36 persen dari total konsumsi nasional. Sementara, kelompok bawah hanya berkontribusi 18 persen. Konsumsi rumah tangga yang menjadi penggerak utama ekonomi nasional pun diprediksi hanya akan tumbuh sebesar 5,1 persen pada tahun ini. Angkanya turun dari proyeksi sebelumnya yang belum menghitung dampak kenaikan harga BBM dan tarif ojol, yaitu di kisaran 5,3 persen.

Kendati demikian, Josua menghitung ekonomi masih bisa tumbuh di atas 5 persen pada tahun ini. “Produk Domestik Bruto (PDB) masih akan tumbuh 5 persen karena dasar perekonomiannya yang sudah kuat pada semester I,” tutur dia.

Josua menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan yang diambil

Sebagai solusi, Josua menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan yang diambil. Misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan berkoordinasi dengan kalangan pengusaha untuk menaikkan upah seperti tuntutan buruh saat berdemo. Memang, opsi ini pun tak mudah. Bahkan, sangat sulit diimplementasikan oleh seluruh sektor lapangan usaha.

Apalagi, masih ada sektor usaha yang masih belum pulih penuh setelah pandemi covid-19. Sederhananya, uang di kantong masih pas-pasan. Tetapi, Josua mengingatkan kenaikan upah pun jika dilakukan bukan berarti akan menahan laju inflasi. Namun, hanya meminimalisir agar lonjakan inflasi tidak terlalu lompat jauh.

“Kenaikan upahnya mungkin tidak akan bisa disesuaikan dengan PDB. Tetapi, setidaknya ada penyesuaian upah sesuai dengan formulasi yang dibuat pemerintah, berapa UMP yang dirasa paling tepat,” kata Josua.

Nah, itulah penjelasan mengenai pemerintah dan pengusaha yang sepakat menaikkan batas bawah tarif ojek online (ojol) dan angkutan darat, seperti bus dan angkot, usai kenaikan harga BBM subsidi dan nonsubsidi pekan lalu. Kenaikan tarif ojol berkisar 8 persen. Harga minimal untuk pemesanan menjadi Rp8.000 sampai Rp11.200 bergantung zonasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here